Senin, 27 Agustus 2012

Kembali ke Cita-cita Pendiri Bangsa

Hanya ada satu kata untuk menghadapi situasi karut-marut kebangsaan saat ini: Cukup! Bahtera Republik ini hampir karam karena makin jauh dari cita-cita Indonesia merdeka.
Setelah 67 tahun merdeka, hampir 90 persen wilayah Indonesia justru dikuasai korporasi asing, terutama di sektor-sektor vital sumber daya alam, seperti mineral dan hutan. Warga terusir dari kampung-kampung mereka, kehilangan tanah dan lahan yang telah mereka tempati secara turun-temurun.
Sementara itu, rahim otonomi daerah melahirkan elite-elite politik lokal yang gampang tergiur terhadap iming-iming investor dan berlomba membebaskan tanah-tanah rakyat tanpa memikirkan sisi keadilan dan keberlanjutan kehidupan mereka.
Di kota, dampak krisis ekonomi membuat pabrik-pabrik menekan upah dan memangkas pekerja. Akibatnya, pengangguran makin luas dan barisan orang miskin bertambah panjang.
Di sektor keuangan, pemerintah telah gagal menarik investor untuk membeli surat utang baru negara. Dengan begitu, salah satu rencana untuk menyelamatkan anggaran negara adalah merealisasikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Jika tidak, pembangunan bisa gagal.
“APBN tidak lagi memiliki kemampuan menopang pemerintahan ini. Apalagi setelah gagal memobilisasi uang dengan menaikkan pajak bea keluar ekspor hasil tambang,” ujar peneliti dari Institute For Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo memperkirakan belanja untuk subsidi BBM akan melewati pagu APBN-P 2012 yang semula Rp 137,4 triliun menjadi Rp 216,8 triliun pada Juli 2012. Padahal, tahun ini pemerintah berencana membayar cicilan pokok dan bunga utang dengan total Rp 175,9 triliun.
Sebesar Rp 68,16 triliun berupa cicilan pokok utang luar negeri dan Rp 117,785 triliun berupa cicilan bunga. Demikian data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan. “Kedua jenis pengeluaran tersebut akan membangkrutkan keuangan negara,” ujar Salamuddin.
Mantan Ketua Umum Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Yusuf AR menilai ruang demokrasi yang saat ini dipraktikkan setelah Reformasi 1998 telah dimanfaatkan untuk melahirkan undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Korupsi terjadi hampir di semua institusi negara, baik di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sementara itu, tidak ada satu partai politik pun yang punya program terobosan untuk penyelamatan bangsa. “Tidak ada ruang bagi rakyat untuk menentukan kebijakan politik ekonomi saat ini dalam partai politik maupun DPR,” kata Yusuf, salah satu penggerak angkatan 1966 yang pernah mendukung Soeharto.
Nasionalisasi
Mantan Ketua Umum Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia (IPPI) Robby Sumolang menilai upaya menghantarkan bangsa Indonesia mencapai masyarakat merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur telah berhenti setelah Presiden Soekarno dikudeta.
“Soekarno dikudeta karena telah memilih kembali ke jalan sosialisme Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaan 1945. Namun, imperialisme dan antek-anteknya yang dipimpin Jenderal Soeharto di dalam negeri telah berhasil merebut dan menyelewengkan jalan yang telah ditentukan Soekarno itu,” tutur mantan tahanan politik Pulau Buru ini.
Sementara itu, mantan aktivis Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) Jopie Lasut menjelaskan, sebenarnya sejak Soeharto berkuasa, mahasiswa telah mulai kembali menuntut nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Namun, setelah 14 tahun Orde Reformasi, justru 90 persen dari kebutuhan hidup orang banyak seperti bahan makanan, air minum, kesehatan, tanah, dan komunikasi telah dikuasai asing.
“Semua rezim dan elite politik setelah Soekarno sampai saat ini bertanggung jawab karena menjadi kaki tangan kepentingan modal asing. Pemilu 2014 hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat di bawah neoliberalisme,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Agus Jabo Priyono, saat ini rakyat harus mengambil alih pelaksanaan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, masyarakat merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur hanya bisa dicapai apabila rakyat berkehendak untuk merebut dan berkuasa secara penuh untuk kepentingannya.
“Jangan menunggu pemerintah menasionalisasi aset-aset asing yang tersebar di seluruh Indonesia. Jangan tunggu pemerintah yang akan membagikan tanah. Rakyatlah yang harus melakukannya. Itu perintah dari Pasal 33 dari UUD 1945,” ujar mantan tahanan politik Presiden Soeharto ini.
Agaknya bangsa ini mesti kembali pada fondasi yang telah diletakkan Soekarno dan para pendiri Republik jika tak ingin bahtera Indonesia benar-benar karam diterjang gelombang neoliberalisme.
(Sinar Harapan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Dewan Kesehatan Rakyat | Design by GHOFAR ISMAIL in collaboration with , and
Powered by DKRBlogger
DKR Kecamatan Brebes, Rakyat Sehat Negara Kuat